Hampir Menyerah


Sejak kecil, orang tuaku selalu menyinggung hal yang berbaur tentang pendidikan. Kata mereka, aku harus rajin belajar agar menjadi anak yang pintar. Sebisa mungkin harus rutin untuk selalu mengulang pelajaran. Agar nantinya, jika ada ujian aku bisa menjawab dengan baik dan benar. Aku harus menjadi anak yang berpendidikan. Jangan seperti mereka yang kurang beruntung karena hanya bisa merasakan duduk di bangku tingkat SMP dan SD. Aku harus sekolah sampai sarjana, baru pikir tentang menikah. Aku harus mencapai cita-cita yang aku impikan.

Aku selalu mendengar bahwa orang berpendidikan itu hidupnya enak. Orang berpendidikan itu tidak perlu mencari uang dengan susah payah, tidak perlu pergi ke kebun panas-panasan, apalagi hujan-hujanan.  Cukup dengan menjual jasanya dan melakukan keahlian mereka. Keahlian mereka akan sangat dibutuhkan dan dipercaya, apalagi mereka punya ijazah dan sertifikat yang mendukung keahliannya.

Ada banyak cerita orang tuaku yang begitu menyentuh hati. Setiap kali mendengarnya, aku merasa malu sekaligus takjub. Entah karena kondisi di zaman dulu yang susah ataukah karena memang kesungguhan anak-anak di zaman dulu yang begitu besar.

Salah satu cerita yang paling aku ingat adalah ketika Ibu menceritakan kenangan saat iya bersekolah dulu. Ia bercerita tentang suasana dikampung yang begitu dingin. Suasana pagi buta yang masih dipenuhi kabut, ia harus memaksa matanya untuk terbuka dan merasakan dinginnya air untuk mengguyur seluruh badan. Rasa dingin yang menusuk seolah bukan hal penting, yang bisa menjadi alasan untuk tidak ke sekolah. Belum lagi jarak rumah Ibu ke Sekolah itu tidaklah dekat. Bukan hanya satu atau dua kilometer saja jarak yang harus ia tempuh dengan berjalan kaki. Kata Ibu, jaraknya sekitar lima kilometer dan kondisi jalan yang harus ia lewati saat itu becek dan hampir sepanjang jalannya itu ada jurang yang ditanami pohon kopi. 

Tipe orang yang tidak tahan dingin sepertiku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya mandi dengan  air yang dinginnya seperti air es. Ditambah lagi berjalan kaki sejauh lima kilometer, melewati jalan yang pinggirnya jurang.

Beda lagi dengan kisah pendidikan yang Ayah ceritakan padaku. Cerita ayah lebih condong ke segi ekonomi keluarga. Ayah bercerita bahwa ia adalah salah satu siswa yang tergolong pintar di sekolahnya, terutama pelajaran sosial. Ayahku yang tergolong kurang mampu kala itu, setiap harinya harus memutar otak untuk bisa menghasilkan uang. Menghasilkan uang untuk biaya sekolah dan jajan. Hampir setiap hari Ayah menyempatkan untuk membuat makanan yang bisa ia jual. Entah ia akan menjualnya disekolah atau di luar sekolah.

Kata Ayah, ia banyak menghabiskan waktu di sekolah. Jadi mau tidak mau, ia harus rela mengorbankan jam istirahatnya untuk keliling berjualan di sekolah. Kalau jualannya tidak habis terjual, ia akan berjualan diluar sekolah setelah jam pulang sekolah.

Setiap mendengar cerita Ayah dan Ibu, aku hanya bisa tersenyum. Aku sadar bahwa ada banyak perjuangan yang ia lakukan di usianya yang masih anak-anak. Kenangan yang membekas dalam ingatan mereka adalah kenangan yang membahagiakan, membuat masa kecilnya berwarna.

Aku mendapatkan pelajaran bahwa, untuk menjadi orang berpendidikan di zaman dulu itu tidak mudah. Meskipun Ayah dan Ibuku hanya merasakan sekolah tingkat SD dan SMP. Aku salut dan bangga dengan perjuangannya. Aku cukup tahu bahwa untuk mencapai ditingkat itu pun butuh kegigihan untuk bisa mencapainya. Apalagi jika pendidikan yang ditempuh itu sampai sarjana. Tentu butuh perjuangan yang lebih besar lagi.

Sejak orang tuaku sering menceritakan itu, aku seperti ditegaskan untuk menjadikan bidang pendidikan sebagai salah satu hal yang paling aku perhatikan. Seperti tertanam dalam diri bahwa pendidikan tersebut harus menjadi sesuatu hal sangat perlu aku jalani. Aku  menganggap bahwa memiliki predikat orang yang berpendidikan adalah hal luar biasa, dan aku harus memiliki itu.

Seiring berjalannya waktu. Setelah dulu hanya bisa mendengar cerita Ayah dan Ibu. Setelah memasuki dunia pendidikan formal, sedikit demi sedikit aku disadarkan bahwa memang dunia pendidikan tidaklah semudah yang diucapkan. Dunia pendidikan adalah dunia yang penuh aturan. Ada banyak hal yang mau tidak mau harus kita lakukan demi untuk melangkah maju.

Ada banyak proses yang harus dijalani untuk melewati tahap demi tahap. Ada banyak rintangan untuk bisa melanjutkan tahap pendidikan selanjutnya. Ada banyak syarat yang perlu diurus kesana kemari. Ada banyak waktu yang perlu disisihkan untuk mengikuti berbagai kegiatan di dunia pendidikan. Yah, dunia pendidikan itu memusingkan, tapi memberikan banyak pengetahuan.

Semua orang tahu bahwa makin tinggi level yang ingin kita gapai, maka rintangan pun semakin besar. Sama halnya di dunia pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan yang kamu ingin capai, makan ujiannya pun akan semakin susah. Aku pun sangat sadar akan hal itu. Aku sadar, dan aku sudah merasakan kesulitan yang sangat memusingkan itu. Kesulitan yang hampir membuatku frustasi dan menyerah kala itu.

Kisah kesulitan itu bermula saat aku memasuki dunia perkuliahan yang lagi sibuk-sibuknya. Aku merasa sudah tidak ada waktu untuk istirahat sebentar saja. Setiap hari harus menulis laporan terus tanpa henti. Entah dulu aku merasakan kesulitan dan kepenatan itu sudah mengganggu pikiranku seperti apa, sampai-sampai dulu sempat berpikir untuk menikah saja. Daripada harus menjalani hidup seperti itu terus menerus, sampai beberapa semester kedepan.

Mungkin aku frustasi, atau belum terbiasa dengan dunia yang baru. Tapi kala itu benar-benar membawa aku pada pikiran bodoh itu. Padahal aku sama sekali tidak ada kesiapan untuk memilih jalan untuk menikah. Aku hampir saja menyerah untuk menjadi sarjana. Padahal orang tua sudah susah payah untuk membiayai segala kebutuhanku di perantauan.

Setelah berpikir untuk menyerah. Aku merasa benar-benar payah dan malu. Pendidikan yang aku hadapi sekarang ini, perjuangannya tidak seberapa dibandingkan perjuangan Ayah dan Ibu dimasa lalu. Terlebih lagi perjuangannya selama ini untuk menyekolahkanku. Dalam hati aku memarahi diriku sendiri. Jangan berhenti ditengah jalan. Ingat, ada orang tua yang ingin melihatmu memakai toga. Ada orang tua yang perlu dibahagiakan. Ada masa depan yang harus kamu pikirkan. Jangan menyerah. Kamu punya cita-cita untuk jadi orang yang berpendidikan.

Meskipun orang yang berpendidikan tidak melulu tentang ijazah. Tapi aku harus terima kenyataan yang ada, bahwa aku butuh ijazah biar sah. Sah jadi sarjana. Sarjana yang berpendidikan.

Aku juga ingat juga kata Ibu, usahakan harus jadi sarjana dulu baru menikah. Itu berarti harus kejar ijazah dulu agar bisa sah depan penghulu.

”Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan”  -Imam Syafi’i

 




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak mudah

Bercerita

Kisah Menjadi Karya