Yang Penting Nyaman
Setiap
manusia yang ada di dunia ini berbeda. Tidak ada hal yang akan sama persis,
sekalipun itu dikatakan kembar. Akan tetap ada yang membedakan, sekecil apapun
perbedaan itu. Berada dilingkungan yang luas dan berbaur dengan banyak orang,
mengharuskan kita untuk menghadapi setiap perbedaan yang ada di setiap orang.
Baik itu dilingkungan keluarga, lingkungan pertemanan apalagi, dan juga lebih
luasnya lingkungan pekerjaan setiap orang. Semakin luasnya lingkungan pergaulan
seseorang, maka akan semakin banyak pula perbedaan yang akan ia temui dan mau
tidak mau ia akan tahu bagaimana cara menghadapi segala bentuk perbedaan yang
ada, yang besar kemungkinannya bisa saja berbeda jauh dengan dirinya.
Tentang
perbedaan, sebenarnya bukanlah hal yang baru didengar dan harus
dipermasalahkan. Menjadi berbeda itu tidak masalah. Tidak ada peraturan dalam
undang-undang untuk harus mengambil keputusan yang sama dalam suatu kelompok,
termasuk lingkungan keluarga. Sedikit kisah dalam lingkungan keluargaku. Sebagian
besar mata pencaharian keluargaku adalah berdagang, lebih tepatnya pedagang
pakaian. Meskipun ada dari mereka yang punya pekerjaan tetap sebagai guru,
montir, tenaga kesehatan, bahkan PNS. Mulai dari tante, om, sepupu dari ayah,
sepupu dari ibu, bahkan sampai saudaraku sendiri memutuskan untuk menjadikan
berdagang sebagai pekerjaan sampingan mereka. Pada suatu waktu kami berkumpul,
kakakku menawarkan untuk ikut berjualan barang yang sama dengannya dan aku
menolaknya tanpa pikir panjang. Aku menolak bukan berarti aku tidak punya modal
pada saat itu. Aku pernah membantu kakakku untuk mengurus jualan pakaiannya dan
beberapa kali aku juga disuruh untuk membalas pesan pelanggannya di media
sosial. Bukannya merasa tidak suka melakukan itu, hanya saja aku merasa tidak
mendapatkan kenyamanan yang seperti aku inginkan. Kenyamanan dan kesenangan
tersendiri yang aku rasakan saat aku menulis. Menulis apapun yang bisa aku
bagikan kepada mereka yang merasakan hal yang sama saat aku menulisnya.
Kesenangan dan rasa bangga pada diri sendiri jika mencapai tahap mempromosikan
buku hasil tulisan sendiri.
Aku
memutuskan untuk tidak menjadi pedagang seperti kakakku, bukan berarti aku
benci berdagang. Aku hanya lebih merasa baik jika yang aku jual adalah hasil
karyaku sendiri, bukan dari orang lain. Aku menolak ajakan kakakku untuk
berdagang pakaian, bukan berarti aku menolak sepenuhnya untuk terjun dalam
dunia perdagangan. Karena pada akhirnya aku juga akan menjual buku hasil
tulisanku sendiri. Aku memilih jalan yang lebih panjang dari apa yang kakakku
jalani, yaitu butuh waktu menulis, membaca ulang, dan mengedit dulu. Aku
memilih jalan untuk menambah salah satu profesiku. Kakakku yang berprofesi
sebagai guru dan juga pedagang, sedangkan aku memilih jalan berprofesi sebagai
farmasis, penulis, dan kemudian pedagang. Aku rasa, memilih jalan yang berbeda
dan sedikit lebih rumit itu tidak apa-apa. Selagi mampu dan membuat nyaman,
jalani.
Menjadi berbeda bukan berarti seseorang itu
adalah pembangkang atau sengaja untuk melanggar aturan. Dalam kondisi tertentu,
seseorang juga tidak akan melakukan sesuatu jika ia tahu bahwa itu akan membawa
dampak buruk untuk dirinya.
Sepenggal
kisah yang aku lalui, saat aku memilih untuk menjadi berbeda diantara ratusan
orang. Kala itu, tepat pada bulan Desember tahun 2020, aku mempersiapkan diri
untuk mengakhiri statusku sebagai mahasiswi. Di saat itu, hampir seluruh teman
mahasiswi sibuk untuk mencari kain dan MUA terbaik versi mereka. Hampir setiap
hari jika aku bertemu mereka menanyakan hal yang sama. “Make up dimana?, pakai baju model apa dan warna apa?, high heels seperti apa yang akan kamu
gunakan?.”
Setiap mereka menanyakan itu, mereka
mungkin heran karena jawabanku masih sama. Aku menjawab pertanyaan mereka
bahwa, aku mungkin tidak akan make up,
dan belum memutuskan warna baju, dan sepatu yang pasti. Aku bukannya tidak antusias
untuk menghadiri acara wisuda. Aku malah lebih memikirkan anggota keluarga yang
lain, yang akan hadir dalam acara kumpul keluarga. Mereka akan aku berikan
suguhan apa?. Saat itu aku merasa kurang masuk akal saja jika aku menghabiskan
uang ratusan ribu untuk make up
sehari saja, yang ujung-ujungnya akan ditutupi juga oleh masker, meski didalam
ruangan. Ayah, Ibu, dan keluarga yang datang dari luar kota pun sempat
bertanya. Kenapa tidak make up
seperti teman-teman yang lain. Aku hanya menjawab, “tidak usah”, sembari
memberikan senyuman. Aku rasa mereka sudah tahu kalau aku memang tipe orang
yang seperti ini. Mereka pun tidak bertanya lagi, dan akupun tidak perlu
menjelaskan lagi.
Tiba dimana hari acara wisuda akan
berlangsung. Aku datang ke gedung dan melihat semua mahasiswi memakai make up dan memakai high heels yang tingginya bermacam-macam. Sedangkan aku, datang
tanpa make up, menggunakan gamis
hitam dan juga sepatu kets. Aku sadar ada beberapa mata yang memperhatikan
penampilanku yang berbeda dengan mahasiswi yang lain. Aku cuek saja dengan
tatapan mereka.
Selama
proses wisuda berlangsung, aku melihat ada beberapa teman mahasiswa yang hampir
saja jatuh saat melangkah menaiki tangga panggung. Mungkin saja ada diantara
mereka yang tidak terbiasa memakai high
heels, tapi tetap ia gunakan demi acara wisuda ini. Sebagian lagi aku
melihat mahasiswi yang repot satu sama lain dengan make up mereka karena keringat. Sibuk bertanya kondisi make up mereka, padahal ada cermin
ditangannya.
Aku
yang tidak memakai make up kala itu,
bukan berarti aku tidak menghargai atau tidak menganggap itu acara yang
penting. Aku juga tahu bahwa, make up
itu bukan syarat untuk menghadiri acara wisuda. Tapi make up untuk acara wisuda, sudah menjadi sebuah tradisi sejak
lama. Aku hanya merasa tidak nyaman dengan make
up, tidak merasa perlu untuk make up,
dan tidak masuk akal saja untuk mementingkan make up dari pada hal yang lebih penting kala itu.
Selama yang kamu lakukan tidak
membuat dirimu merasa buruk, tidak merugikan orang lain, jalani. Sekalipun
jalan yang kami pilih itu berbeda dengan orang lain.
Komentar
Posting Komentar