Kukira dia, ternyata bukan
Sebuah penyesalan sudah takdirnya kita rasakan belakangan. Kita hanya butuh kembali sadar, tidak perlu terlalu kecewa dan larut dalam rasa penyesalan yang sungguh membuat galau, gunda, merana, melow bukan main. Toh ini rasa yang secara sadar kamu ciptakan sendiri.
Rasanya seperti semangat ini terkuras, diserap oleh hati dan pikiran yang berusaha keras untuk diimbangkan. Selera untuk melakukan kegiatan ini dan itu semuanya tiba-tiba hilang entah kemana. Kesal? kecewa? atau bahkan rasa sakit hati itu berhasil membuat air mata menetes? Iya itu manusiawi, sebab kita masih punya hati. Tapi, pertanyaan selanjutnya. Apa berhak kamu tujukan untuk dia? Apa pantas dia menerima tangisanmu? Apa pantas orang seperti dia untuk ditangisi? Nah, kembali introspeksi.
Jawab saja! Ini tentang rasa percaya antara kedua belah pihak yang pernah bahagia, sebelum akhirnya memutuskan menyudahi lalu berpisah. Menjalani hidup sendiri-sendiri, menjalani keputusan dalam hidup masing-masing.
Kamu percaya dia. Apa dia percaya padamu? Belum tentu, bisa jadi dia tidak percaya sama sekali. Kamu menjaga hati untuknya. Apa dia melakukan hal yang sama? Belum tentu.
Kamu yang terlanjur percaya, atau dia yang tidak sadar memberikan harapan. Jawab saja, ini bebas. Tidak usah risau, jawaban ini tidak akan merubah keadaan yang telah kamu putuskan. Mungkin hati yang ikhlas dan percaya akan takdir Allah akan ikhlas menerima. Sungguh dengan lapang menerima, yang perlu dilakukan hanya akan terus memohon pada-Nya diberi kesabaran akan amukan rasa yang entah rasa apalagi namanya. Perasaan yang jelas-jelas salah, tapi masih disimpan dan malah dirawat baik-baik. Hahaha.. Khilafnya tingkat dewa.
Terjadinya semua ini karena rasa percaya. Iya aku percaya, tapi ternyata dia tidak merasakan yang sama. Orang baik yang telah aku percaya sebab memang kenyataannya seperti itu, hanya saja belum bisa untuk mengerti apa yang aku mau dan dia sendiri belum paham apa sebenarnya yang dia mau.
Kamu baik, ke semua orang. Aku tahu itu sejak dulu, itu pula yang berhasil melandasi rasa percayaku. Bodohnya lagi aku bahkan percaya bahwa kamu orangnya, lelaki terakhir yang mungkin akan lama masanya menemaniku. Aku kira namamu yang akan aku ceritakan dengan bangga dihadapan teman-temanku, lelaki yang akan kuperkenalkan dihadapan orang tua dan keluarga besarku, lelaki yang akan mengucapkan namaku dengan fasih dalam janji suci pernikahan. Tapi apa? Semua salah.
Sempat berniat untuk menjadikanmu yang terpilih, tapi ternyata tanpa aku tahu kamu masih ingin memilih. Aku tidak akan marah, bagaimanapun ini juga salahku. Aku juga tdak akan pernah membenci, yang aku tahu 'aku hanya kecewa'. Ku kira dia, ternyata bukan.
Komentar
Posting Komentar