Ada jalan lebih baik



Semua orang didunia ini punya cita-cita, punya tujuan dihidupnya. Setidaknya punya target yang sebisa mungkin diusahakan untuk bisa tercapai dalam kurun waktu tertentu.

Sejak sekolah Pendidikan Anak Usia Dini, kemudian beranjak ketingkat Taman Kanak-kanak, lalu Sekolah Dasar, berlanjut lagi ke Sekolah Menengah Pertama, sampai ketingkat Sekolah Menengah Atas pun banyak yang sudah punya cita-cita, meskipun ada yang seiring waktu cita-citanya berubah-ubah, termasuk aku sendiri. Tapi, tentang cita-cita yang masih berubah-ubah ini, menurutku hal yang wajar. Wajar karena masa remaja itu masih labil, masih ada diantaranya yang belum tahu tentang apa yang diperlukan untuk mencapai cita-cita tersebut dan ada tanggung jawab seperti apa di setiap pekerjaan yang kita pilih nantinya. Berbeda halnya jika nanti sudah dewasa. Akan ada lebih banyak masa yang telah dilewati yang banyak memberikan pelajaran dan pengetahuan tentang masa depan.

Seiring waktu bertambahnya usia, apalagi seseorang yang telah menyandang gelar sebagai orang ‘dewasa’ yang telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan, pasti punya harapan yang mungkin telah diidam-idamkan sejak lama. Meskipun mungkin ada harapan yang tak tercapai karena beberapa alasan yang tidak bisa dikendalikan, sampai  harapan tersebut hanya bisa direlakan, menjadi angan-angan, memutuskan untuk menguburnya dalam-dalam diingatan. Perasaan ini sangat bisa aku pahami karena belum lama ini aku mengalaminya sendiri.

Aku punya cita-cita yang sangat berbeda jauh dengan apa yang aku jalani sekarang ini. Dulu, cita-citaku adalah seorang desain interior atau paling tidak menjadi seorang dekorator interior. Bercita-cita membantu siapa saja yang membutuhkan jasaku. Menciptakan ruangan nyaman, estetik, dan enak dipandang mata. Sedangkan sekarang ini pekerjaan aku adalah seorang sarjana farmasi, yang setiap harinya bergelut dengan resep dan racikan obat. Setiap harinya melayani pasien yang punya banyak sekali keluhan ini dan itu.

Bukannya orang tua tidak merestui cita-citaku kala itu, tapi memang kondisi dan situasinya yang tidak merestui. Dulu pilihan orang tua hanya sekolah Sekolah Menengah Kejuruan, alasannya karena sekolah tersebut letaknya tidak jauh dari rumah dan akupun kala itu tidak punya keinginan untuk melanjutkan sekolah diluar daerah. Daerah Mamuju dan sekitarnya tempat aku tinggal, tidak ada sekolah yang punya jurusan mendetail seperti itu. Akhirnya memilih jurusan yang melenceng dari minat dan kesukaanku. Kala itu, aku sempat daftar dijurusan komputer, tapi sayangnya aku tidak lulus dan saat itu aku pasrah, akhirnya aku memilih untuk menuruti jurusan yang dipilih orang tuaku, yaitu jurusan pertanian. Awal-awal mulai sekolah, susah rasanya menjalani apa yang bukan keinginan diri sendiri, sampai pada hari dimana aku masuk peringat dua dikelas, selanjutnya naik ke kelas dua, masuk peringkat dua lagi, dan kabar baiknya lagi, aku dipilih untuk mewakili jurusanku dalam lomba tingkat kabupaten, dan lolos juga ke tingkat provinsi. Saat itu aku beranggapan bahwa, meskipun tidak ada peningkatan dari segi peringkat di kelas, setidaknya aku mampu untuk mempertahankan peringkatku dan punya pencapaian lain yang sangat patut untuk aku syukuri, karena tidak semua diberikan kesempatan yang sama sepertiku. Sejak saat itu, aku mulai mengerti bahwa tidak semua yang aku inginkan harus aku paksakan, dan harus aku raih saat itu juga.

Selanjutnya, memasuki dunia perkuliahan, Aku belum juga mengambil jurusan desain interior itu. Alasannya masih sama, yaitu tidak ada jurusan desain interior dikampus yang aku pilih, dan tidak juga berminat untuk melanjutkan jurusan yang aku ambil semasa sekolah kejuruan.

Ada sedikit keinginan untuk melanjutkan kuliah dengan mengambil jurusan kedokteran, tapi aku sadar bahwa biaya kuliah untuk jurusan tersebut tidaklah murah biayanya. Aku ingat raut wajah itu, saat mengatakan "Biaya semesternya terlalu mahal nak". Akupun sadar akan hal itu, dan akupun lagi-lagi meredam keinginan untuk memasuki jurusan itu.

Berlalunya hari demi hari, sampai waktunya makin mepet untuk memilih jurusan, akhirnya memilih jurusan farmasi. Alasannya mungkin terdengar lucu, yaitu karena meskipun tidak jadi dokter, aku bisa menjadi rekan kerjasama dalam hal resep meresep obat yang nantinya diberikan ke pasien. Lagi-lagi ini termasuk pilihan orang tuaku. Awalnya ada rasa terpaksa menjalani, tapi seiring waktu aku ikhlaskan seperti halnya masa sekolah dulu. Aku cukup belajar dari momentum itu, dan sekarang aku hanya perlu menanamkan dalam diriku bahwa restu Allah adalah restu orang tua.

Singkat cerita, setelah lulus dijenjang perkuliahan, aku berencana untuk melanjutkan lagi kuliah profesi untuk meraih gelar apoteker, keinginan ini adalah keinginan orang tuaku juga. Akan tetapi, setelah persiapan dana yang kesekian kalinya, keinginanku ini lagi-lagi harus aku redam sementara, karena ada masalah keluarga. Kali pertama, dana yang seharusnya aku pakai untuk mendaftar kuliah dipakai dulu untuk menutupi kebutuhan lain yang mendesak dan kali kedua situasinya pun hampir sama. Sampai pada detik inipun aku masih belum melajutkan kuliah profesiku.

Aku tidak ingin memaksakan bahwa harus daftar kuliah tahun ini juga. Aku sudah dewasa, sangat menyadari bahwa harus ada yang mengalah. Keinginanku bisa aku tunda lagi. Bukan sekarang, mungkin nanti jika Allah takdirkan bahwa itu sudah jalanku.

Seiring waktu dengan banyaknya evaluasi serta pengamatanku terhadap apa yang aku alami sendiri, terhadap apa yang aku rasakan selama ini. Alhamdulillah jiwa ini bisa menerima dengan baik, meskipun bukan menerima langsung dan secara menyeluruh, melainkan menerimanya secara perlahan. Aku tahu bahwa apa yang membuat hati ini kecewa dan sakit hati, pasti punya sesuatu yang bisa dijadikan pelajaran. Buktinya, dengan apa yang aku raih sekarang ini, seperti rezeki diberikan pekerjaan yang nyaman, tidak terlalu menguras tenaga, punya atasan dan rekan kerja yang ramah, rajin dan bertanggung jawab, semua ini berkat restu orang tua dan Sang Maha Berkehendak.

Aku yakin diluar sana pasti ada yang merasakan hal yang sama, sebab kondisi yang tidak sesuai harapan, mengharuskan diri ini untuk ikhlas, awalnya terpaksa lalu terbiasa. Tercapainya suatu harapan, selain usaha pasti ada campur tangan Sang Pencipta. Apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Allah. Yakin bahwa ada jalan yang lebih baik.

 

 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dikasih kode lagi sama Allah

Tidak mudah

Hanya butuh sabar