Bahagia dalam Aturan
Keluargaku
adalah lingkungan yang aku kenal pertama kali. Lingkungan dimana aku
menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan bermain.
Banyak peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari bersama keluarga yang menjadi suatu bentuk perkenalan rasa.
Keluarga adalah yang paling awal mengajarkan banyak hal dalam hidup. Entah itu
dari segi pendidikan formal maupun non formal, belajar mengolah rasa, menerima keadaan,
menghargai perbedaan dari segi apapun itu. Sebagian besar aku dapatkan dari
lingkungan keluarga.
Dalam keluarga
ada banyak watak yang sungguh jauh berbeda, cara dan jalannya pemikiran yang
tidak jarang saling bertolak belakang, apalagi soal pendapat yang seringkali
tak sejalan. Yah ada banyak warna dalam suatu keluarga, yang pantas dijadikan
tempat belajar sebelum mengenal liarnya dan kerasnya dunia luar.
Seperti yang
aku katakan sebelumnya bahwa dalam keluarga, ada banyak watak disana. Meskipun
tidak menutup kemungkinan ada juga keluarga yang memiliki watak yang tidak jauh
berbeda. Tapi, dalam keluargaku sendiri bisa dibilang watak dari setiap anggota
keluarga itu jauh berbeda. Meskipun begitu, aku bisa lihat dan merasakan ada
beberapa sisi yang menjadikan perbedaan kami menjadi pelengkap satu sama lain.
Keluargaku menjadi sumber bahagia yang pasti untukku, meskipun ada sedihnya
juga. Lagipula aku sadar rasa sedih itu pasti akan mengajarkan hal baik yang
lain.
Selain dari segi watak kami sekeluarga yang
seringkali menjadi sumber bahagia dadakan kami. Aku juga ingin memberitahu
banyak orang bahwa bahagianya keluargaku juga tidak lepas dari peran orang
tuaku. Peran orang tua mendidik
anak-anaknya tanpa lelah.
Keluargaku bukan orang yang punya pendidikan tinggi, tapi Bapak dan
Ibuku selalu mengajarkan tata krama dan peduli. Keluargaku bukan orang yang serba ada, tapi
Bapak dan Ibuku mengajarkan untuk selalu membantu sesama dengan apa yang kita
bisa. Ayah Ibuku bukan orang yang punya jabatan, tapi Alhamdulillah dikenal
banyak orang karena kemampuan dan wawasan. Sering sekali rasanya minder dengan
kemampuan wawasan Bapak. Apalagi soal Ilmu sosial. Kadang heran, kalau dibilang
suka baca, kayaknya tidak juga. Aku jarang sekali melihatnya membaca. Malah
lebih seringnya nonton. Tapi, yah bisa saja dulu waktu zaman sekolahnya rajin
membaca. Sekarang kini sibuk bertani dan tak punya tenaga lebih lagi untuk
menyipitkan mata sambil membolak-balikkan kertas bacaan.
Rasa iri sekaligus bangga rasanya.
Melihat orang tuaku yang membanggakan karena punya wawasan yang luas.
Aku berinisiatif untuk sering mengajak adik-adikku untuk bermain sambil
belajar. Pada saat kumpul keluarga beberapa waktu lalu aku mengajak tiga adikku
bermain, permainannya menyebutkan nama-nama negara, nama hewan, nama merek,
nama kota, dan lain-lain. Dengan awalan huruf yang ditentukan. Saat seperti
itu, Bapak dan Ibu selalu ikut memeriahkan, memberikan kode jawaban untuk salah
satu dari kami yang belum memiliki jawaban. Bapak dan Ibu sering kali
memberikan jawaban yang berhasil mengundang gelak tawa sampai air mata ikut
keluar. Kata yang paling aku ingat kala itu saat kami bermain untuk menyebutkan
kata untuk tempat liburan awalan huruf F. Beberapa menit berlalu, kami semua
kebingungan, selang beberapa detik kemudian Bapak membisikan jawaban ke adik
bungsuku. Tanpa pikir lama adikku langsung mengatakan 'Fantai". Sontak
kami semua tertawa hingga cekikikan. Ada-ada saja, masa pantai dibilang fantai.
Suasana kumpul seperti itu pasti akan sangat dirindukan nantinya. Bukan
hanya aku, pasti sama yang dirasakan oleh anggota keluarga yang lain. Kelak
jika semua atau mungkin ada salah satu anggota keluarga yang telah berkeluarga,
berpindah rumah untuk hidup dengan keluarga kecilnya. Momentum seperti ini
pasti akan menjadi sebuah kerinduan yang ingin diulang kembali. Untuk
mengulanginya lagi, aku rasa jelas hal yang cukup sulit, karena kondisinya
sudah berubah dan jelas berbeda. Momentum yang hanya akan menjadi kenangan
indah, tidak dapat direka ulang.
Menjadi anggota di dalam keluargaku ini harus bisa tahan batin dan tahan
banting. Tidak sebebas teman-temanku yang lain yang bisa sering-sering
nongkrong di kafe dan ikut serta segala
bentuk acara. Tidak mudah untuk bisa meminta izin yang berkaitan dengan
liburan, bahasa gaul anak sekarang disebut healing. Tapi disamping larangan-larangan
yang kadang membuat kecewa, hingga beranjak dewasa kini aku melihat banyak
kebaikan di dalamnya. Dengan larangan-larangan itu, aku bersyukur. Aku merasa
lebih bisa memanfaatkan waktu dengan baik dan pastinya punya waktu lebih banyak
untuk berkarya,juga yang lebih penting bisa menikmati banyak waktu berkumpul
dengan keluarga.
Jujur, aku dulu sempat merasa tidak suka. Tapi makin bertambahnya umur,
aku merasa bahagia dengan itu. Aku sadar akan pekerjaan yang tidak ada gunanya,
berkumpul dengan teman-teman sampai lupa waktu, bercerita berbagai macam topik
yang tidak jarang berujung pada gosip teman sendiri. Aku merasa senang jika aku
bisa mendengar arahan, mematuhi aturan yang diberikan Bapak dan Ibu apalagi
soal pergaulan, menghargai dan membuat mereka bahagia dengan anak yang patuh.
Keluargaku bukan
lingkungan yang mengekang, hanya saja ajaran orang tua memang keras dan tegas. Orang
tua menamkan ajaran seperti ini. “Kalau tidak ada gunanya tidak usah buang
waktu untuk ikut serta, kalau hanya untuk bersenang-senang jangan dilakukan
sering-sering”.
Makin banyaknya pengalaman, aku sadar bahwa aturan yang
diterapkan keluargaku semata-mata untuk kebaikan dan kebahagiaanku kelak, dan
sampai hari ini kebahagian itu nyata adanya.
Komentar
Posting Komentar