Prestasi Berujung Kecewa
Masa kecilku adalah masa yang sangat patut untuk dikenang,
masa yang lebih banyak meninggalkan kenangan yang indah dibanding kenangan
buruk. Banyak cerita di masa kecilku yang selalu saja berhasil memunculkan
riang tawa jika diceritakan kembali. Bahkan setelah berkali-kali pun, masih
saja ada tawa yang berhasil membuat sakit perut saking lucunya. Beda
halnya kalau yang menceritakan itu adalah orang tua kita atau keluarga kita
yang ada saat kejadian. Bukan hanya lucu saja, kadang ada juga cerita yang
membuat pipi merah saking malunya.
Bercerita tentang masa kecil, salah satu cerita yang
sangat membahagiakan di masa kecilku adalah tentang prestasi di sekolah. Dulu,
semasa SD bisa dibilang salah satu siswa yang berprestasi. Beberapa
prestasi yang pernah aku raih yaitu, dari
kelas 1 sampai kelas 6 tidak pernah lepas dari peringkat 1 dan 2. Saking
keseringannya masuk peringkat di sekolah, sampai-sampai aku pernah ditanya tetangga
rumah. Kamu diberikan makan apa dirumah?, membingungkan sekali pertanyaan itu. Selain prestasi peringkat, aku juga sering
dipilih menjadi kandidat lomba bidang akademik yang rutin diadakan tingkat kecamatan
dan kabupaten.
Suatu hari, aku dipanggil ke kantor untuk berlatih
mengerjakan soal-soal persiapan lomba, kurang lebih ada 3 macam mata pelajaran.
Setelah selesai dan diperiksa oleh guru, aku disuruh menunggu sambil membaca
buku yang ada. Selang beberapa menit kemudian, saat duduk santai membaca, aku
mendengar seorang guru berbicara dengan guru lainnya bahwa "Anak ini bisa
mengerjakan 3 macam soal mata pelajaran. Jadi, mata pelajaran apa yang akan
dibawakan untuk lomba?" Dia mengatakan sambil tersenyum lebar bahkan
sedikit tertawa. Setelah itu guru tersebut berbicara kepadaku bahwa
"Seandainya lomba tidak diadakan bersamaan, kamu ambil saja semua mata
pelajaran yang akan dilombakan", lagi-lagi mengatakannya sambil tertawa.
Setelah mendengar kata-kata itu, ada rasa senang luar biasa yang tidak bisa aku
ungkapkan. Aku hanya bisa berterima kasih atas akal sehat yang diberikan
kepadaku. Aku tahu bahwa semua ini hanya pinjaman, tugasku hanya
memanfaaatkannya dengan baik.
Semua hanya pinjaman dari-Nya, dan kata yang aku yakini
ini seketika Allah buktikan. Singkat cerita, saat itu aku sudah dinyatakan naik
ke kelas 6, aku sakit cacar air dan tidak masuk sekolah hampir 1 bulan lamanya.
Saat masuk sekolah pertama kali pun, badanku rasanya belum terlalu siap untuk
beraktifitas apalagi berpikir keras. Wajahku masih tampak pucat. Saat itu
pelajaran matematika, aku malah disuruh naik mengerjakan soal yang belum sempat
aku pelajari. Aku sudah mengaku kepada guru bahwa aku belum bisa mengerjakannya
karena baru pertama masuk sekolah setelah sakit. Tapi, guru terus mendesakku.
Mau tidak mau aku mencoba mengerjakannya, dan hasilnya sangat bisa kalian
tebak. Yah, jawabannya salah.
Sekilas setelah melihat jawabanku, guruku marah dan
menyerbuku banyak sekali pertanyaan. Apa yang kamu perhatikan?, apa yang kamu
kerjakan selama dirumah?, soal begini saja masih salah?, mau jadi apa kamu
kalau sudah dewasa?, sudah malas yah kamu sekarang?. Mataku sudah berkaca-kaca,
dada rasanya sesak, ditambah lagi badan ini sebenarnya masih butuh istirahat.
Rasanya sakit sekali dibentak, diserbu pertanyaan didepan semua teman kelas,
mengeluarkan suaraku saja rasanya tidak sanggup, apalagi menjawab semua
pertanyaannya.
Aku berangkat ke sekolah pun sempat dilarang orang tua,
karena bekas cacarnya masih perlu diobati. Tapi, disisi lain aku merasa sudah
sangat lama izin sekolah, aku takut tidak lulus sekolah. Masa iya,
teman-temanku sudah pakai seragam putih biru, sedangkan aku masih putih merah.
Kalau pun sekarang ini aku ditanya
soal rasa sakit itu masih ada atau tidak. Aku bohong kalau mengatakan rasa sakit
itu sudah hilang. Mungkin lebih tepatnya, rasa sakit itu tidak sesakit
dulu. Jujur aku sangat kecewa kala itu,
karena guru itu adalah, guru yang beberapa bulan lalu membuat saya senangnya
bukan main. Guru yang membuat saya selalu semangat untuk belajar setiap
harinya. Tapi kala itu, guru itu juga yang membuat saya sangat kecewa pertama
kalinya. Yah
guru itu yang berbicara padaku dulu, "Seandainya lomba
tidak diadakan bersamaan, kamu ambil saja semua mata pelajaran yang akan
dilombakan". Rasanya seperti disanjung setinggi mungkin, lalu dijatuhkan
hingga hancur berkeping-keping. Saat itu, aku baru tahu ternyata begini rasanya
dibahagiakan sekaligus disakiti oleh orang sama.
Di kejadian ini aku juga belajar
bahwa tidak ada yang bisa menjamin, semua hal yang diberikan oleh Allah, tidak
akan Allah ambil kembali. Maka dari itu, Jangan menaruh harap besar pada selain
Allah. Aku mengaku salah, orang yang aku
kira mengerti, ternyata tidak.
Nurfitriana, 22 Februari 2022
Komentar
Posting Komentar