Berhenti Meyiksa Diri
Tipe anak yang pendiam dan pemalu
sepertiku, rasanya banyak sekali yang perlu aku benahi. Mulai dari sikap hingga
kebiasaan hidup yang tidak karuan. Aku adalah tipikal orang yang kurang percaya
diri, orang yang gampang kepikiran dan gampang merasa down. Usia 20 tahunan ini, aku masih merasa sulit untuk berbicara
di depan banyak orang, apalagi di tempat umum. Orangnya puitis sekaligus
cengeng dan termasuk paling cuek di lingkungan pertemanannya. Entah semua ini
pembawaan dari lahir ataukah buah dari pahit manisnya hidup yang telah aku
lewati selama 24 tahun ini.
Selain tipikal yang aku sebutkan
di atas, aku juga sebenarnya anak yang suka memendam perasaannya sendiri. Bukan
karena tidak punya teman untuk bercerita, tapi aku rasa masalahku cukup aku dan
Tuhanku saja yang tahu, lalu aku mencari jalan keluarnya sendiri. Alhasil,
tidak jarang aku hanya bisa menangis sesegukan di bawah bantal, tanpa suara.
Melepaskan semua emosi yang membuat sesak di dada.
Aku suka memendam perasaanku
sendiri, tapi aku termasuk anak yang tekadnya kuat. Jika punya target untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan, maka harus aku kerjakan tepat waktu, harus aku
selesaikan dengan baik dan memuaskan. Walaupun kadang-kadang, demi memuaskan
jiwa perfeksionisku harus dengan cara memaksa kemampuanku, harus menahan rasa
ngantuk, rasa lapar, pegal-pegal, bahkan lebih parahnya sampai jatuh sakit.
Ada rasa legah dan puas rasanya
jika apa yang aku rencanakan sesuai dengan keinginan dan selesai tepat waktu
yang kutentukan. Tapi, suatu ketika aku jatuh sakit sampai berhari-hari.
Rasanya seperti menzalimi diriku sendiri. Aku memaksa raga ini untuk terus
bekerja, menghasilkan rupiah demi rupiah, sementara ia butuh istirahat dan memulihkan tenaga.
Harusnya aku sadar bahwa aku
terlalu berlebihan dalam mengkritik diriku sendiri, takut nantinya akan dinilai
buruk oleh orang lain. Takut jika diamanahkan sesuatu tidak selesai saat
dibutuhkan, padahal tenggat waktunya masih lama. Seolah-olah saat aku
mengerjakannya seperti tidak ada hari esok yang tersisa. Apapun yang terjadi
harus selesai, saking memaksanya.
Selain suka memendam perasaannya
sendiri dan punya tekad yang kuat dalam mengerjakan sesuatu hal. Aku juga
merasa sikap yang satu ini harus aku musnahkan secara perlahan, yaitu tidak
enakan dan gampang kepikiran
Beberapa hari yang lalu, aku menghadiri suatu pertemuan bersama keluargaku. Pertemuan bersama salah satu pejabat pemerintah dengan masyarakat. Saat itu, aku berkesempatan untuk menyuarakan segala sesuatu yang menggangu, yang perlu dibenahi dan harusnya mendapat perhatian lebih dari pemerintah setempat. Saat proses penyampaian itu, ada rasa takut dan sedikit grogi. Setelah mengutarakan itu, dalam perjalanan pulang aku masih kepikiran tentang apa yang aku sampaikan. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul dikepalaku kala itu. Apakah aku sudah menyampaikan dengan baik? Apakah aku tidak terlihat memalukan diriku sendiri? Apa aku dilihat orang karena memperhatikanku bicara, atau karena ada kata-kataku yang salah dan menyinggung?. Sampai kurang lebih 2 hari lamanya, pertanyaan-pertanyaan yang hampir selaras itu, menghantui kepalaku. Aku merasa kecewa terhadap diriku sendiri, aku bahkan sempat marah. Kenapa kamu tidak diam saja wahai diri. Kamu hanya bisa menambah beban pikiran saja kalau terus begini.
Kenapa aku bicara, kalau aku
merasa ragu-ragu? kenapa juga harus menyampaikan semua itu?, sangat menggangu
sekali rasa tidak percaya diri ini. Aku kadang iri dengan teman sebayaku yang
dengan gampangnya mengutarakan sesuatu dengan fasih dan percaya diri, menjadi
pusat perhatian, semua orang menyimak apa yang disampaikannya. Cara
penyampaiannya pun dengan intonasi yang jelas, tanpa ada grogi sedikit pun.
Seiring waktu berlalu, ada banyak
hal yang semesta ini ajarkan. Ada banyak rasa yang telah memberikan pelajaran,
ada banyak watak yang mengajariku bagaimana seharusnya menyikapi. Apakah
menghormati, meladeni, memaklumi, atau bahkan tidak usah peduli tentang sesuatu
tersebut. Hal ini juga seiring dengan makin bertambahnya tokoh yang kukenal
setiap harinya, baik itu secara nyata maupun kenalan di dunia maya.
Aku sadar semua yang kualami adalah
proses hidup menjadi dewasa, proses untuk mulai memberanikan diri, berani
mengambil risiko, tidak usah berpikir terlalu lama karena takut salah, takut
akan penilaian buruk orang lain, serta berani bertanggung jawab kemudian akan
terbiasa.
Untuk diriku, kamu perlu tahu
bahwa setiap orang prosesnya berbeda, kamu hanya perlu menerima jalanmu sendiri
dan cukup berusaha untuk jadi lebih baik setiap harinya. Gali potensi diri dan
jangan berhenti untuk mencari jati diri.
Apa yang orang lain bisa, belum tentu kamu harus bisa. Setelah apa yang
kamu usahakan sekuat tenaga, berjuang semampumu, tapi tetap tidak bisa. Maka,
jangan benci dirimu. Jangan selalu membandingkan pencapaian orang lain yang
jauh lebih maju, sedangkan usaha dan kemampuanmu juga belum tentu sama.
Untuk diriku. Tidak ada salahnya
jika ingin berusaha dan berjuang. Tapi, berhentilah untuk menyiksa diri
sendiri, lakukan apa yang menurut kata hati ini baik, jangan lakukan jika tidak
percaya dan hanya akan berakibat buruk. Harus yakin bahwa kamu bisa berubah dan
menjalani hidup lebih baik secara perlahan.
Untuk diriku, jangan egois,
tugasmu bukan untuk menyenangkan semua orang. Jangan terlalu takut pada
penilaian orang. Fokus saja jalani hidup
dan jangan pernah lupa bersyukur.
Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.
Komentar
Posting Komentar